Semilir angin menyapa lamunan panjangku.
Menyadarkanku akan sosoknya yang kini telah tiada, pergi untuk misi yang baru.
Bertekad meninggalkan jejak, jejak semu yang kini ku kenang. Akan ku beri dia
nyawa, agar dia selalu hidup, di sini, di sekolah kita.
Koridor sekolah depan ruang seni, yap saat
pertama infeksi virus kau lancarkan. Sepasang mata menatap dalam diriku.
“ Heh! Ngapain kalian?”, teriak Kak Pegy.
“Eh maaf Kak, papan nama aku jatuh.”
“Alibi aja bisanya! Cepet masuk!”
Akupun tersenyum manis dan berlalu
pergi. Rasanya, tak ingin aku berlama-lama terdiam dan mendengar celoteh sang
senior. Tapi aneh, kamu sama sekali tak terlihat seperti senior. Kerjamu cuma
nyengir dan ngasih hukuman semau kamu.
Disela kegiatan, tatapanmu kembali
menjadi sebuah misteri. Berulang kali kamu menatapku dan kerap membuatku salah
tingkah. Dan hal itu malah membuatku dikenai hukuman. Kurasa, setiap hukuman
seakan dirancang khusus buat aku, aneh! Tapi, hal ini tidak akan membuatku
mundur dari kelompok seni. Bahkan tekadku menjadi semakin kuat, karena kamu
semakin lekat dengan image misterius.
Dulu seni emang bukan prioritas
utamaku. Tapi demi senior incaranku, aku rela ikut masa orientasi gokil kayak
gini. Dimarah-marahin, kena hukuman, dikerjain, dan rela ngabisin waktu cuma
buat hal sepele kayak gitu. Sekarang, rasanya usahaku sia-sia. Incaranku tak
seindah dan tak semenarik yang aku kira sebelumnya. Haha, yang gituan sih di
pasaran juga banyak boo.
Tak tersangka sebelumnya, ternyata
sasaranku berubah haluan. Setelah dipikir-pikir, mungkin kamu sasaranku kini.
Apalagi saat ID aku jatuh tepat di depan kamu.
“Ana, itu jatuh gimana?”
“Apaan sih Mir?”
“Itu ID aku L, An. Depan senior
yang sok itu!”
“Idih, aku gak tau yah, ambil sendiri gih sana!”
Dengan sangat hati-hati, aku mengambil ID card
yang jatuh tepat di depan kamu dan berharap kamu tidak menyadari hal itu. Tapi,
sesaat sebelum tanganku menyentuhnya, tiba-tiba tanganmu lebih dulu
mengambilnya. Refleks indra penglihatanku menatapmu kaku. Sorotan matamu
terlalu tajam dan membuka pupilku lebar-lebar. Sontak tubuhkupun menggigil dan
waktu seakan membeku sesaat. Hanya aku, kamu, dan sesuatu dalam sorot matamu.
“Brakk!”, buku tebal Kak Pegy, jatuh di samping
kiriku.”Aduh, apaan sih kalian sok sinetron!.”
“Ups, maaf Kak, gak sengaja. Makasih yah.”
“Oia gapapa.”
“Wah, gila .. gila .. kamu baik juga, Kak.”,
bisikku dalam hati.
Lagi-lagi Kak Pegy mengganggu duniaku,”Heh
junior gabung sama sesamanya yah, pergi sana! Balik ke alamnya!.”
“Oke, semuanya ngumpul, sekarang kakak bakalan
ngebagi kalian jadi beberapa kelompok dan salah satu dari kita bakal jadi tutor
kalian. Tiap kelompok satu tutor.”, jelas Kak Indra, ketua seni kala itu.
Ini anugerah. Tutor aku, ternyata kamu J. Seneng banget. Gak kebayang, nanti aku bakal
konsen latihan gak yah, hehe.
“Heh, Mirza! Ngapain senyum-senyum sendiri.”
“hehe, gapapa An. Lucu aja, ID aku udah dipegang
........”
“Siapa?”
“Tuh ..”, jawabku sambil menunjuk ke arahnya.
“Eh geer aja kamu. Dia tuh cuma ngehargain kamu
sebagai juniornya tau! Udah ah jangan ganjen deh Mir.”
“Idih siapa yang geer! Emang bener kok. Kamu
liat kan tadi gimana hah?”
“Iya tau, tapi ............”
“Hei bagus yah kalian, malah ngobrol sendiri.
Ayo cepet sana! Gabung sama yang lain dong, mana kebersamaannya?”, si cerewet
Kak Pegy kembali mengusik duniaku.
“Iya Kakak Pegy.”
Keringat mulai berlomba mendesak pori-pori
kulitku. Otot-otot mulai ingin berelaksasi setelah cukup lama berkontraksi.
Kegiatan latihan kali ini emang parah. Masa disuruh ngangkat yang berat-berat.
Apa hubungannya sama seni coba? Dasar mahiwal sekali yah.
“Kenapa de?”, tanya kamu.
“Berat Kak, udah gak kuat lagi L.”
“Yaudah istirahat dulu aja deh, daripada ntar
jatuh disini gimana coba?. Sini Kakak bantuin.”
“Ih jangan Kak, kalo kena marah gimana coba?”
“Udah gapapa kok, yang lain juga pasti ngerti.
Percaya deh.”
“Oh iya deh Kak, maaf yah ngerepotin.”
“Iya, nyantai aja de.”, jawabnya halus.
Wah, gak salah deh aku berubah arah. Karena arah
yang aku pilih sekarang, cukup membuat hati senang.
“Ayo semuanya, latihan hari ini cukup. Sekarang
kakak bakalan ngasih tugas. Dan ini list tugas masing-masing kelompok yang
harus dibawa di latihan berikutnya. Jangan ngoceh, dan saya harap kerjasamanya,
oke.”
Aku catat tugas demi tugas yang harus aku
siapin. Cukup sulit dimengerti. Kata-kata tugasnya dibalut dengan teka-teki.
Padahal aku sangat gak suka tebak-tebakan. Kelompok kami mulai nyerah
menerjemahkan maksud semua ini. Salah satu dari kami mulai memberanikan diri
bertanya. Sayang, tak sedikitpun pencerahan yang kami dapatkan darimu. Aku
terkejut, diam-diam kamu ngasih bocoran makna list tugas itu ke aku, hanya buat
aku. Dan gawatnya, hal itu tercium Kak Pegy. Spontan teriakan Kak Pegy
mendominasi ruangan.
“Fariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiz!
Ngapain kamu ngomong sama anak itu? Sekarang juga kamu dipanggil anak-anak ke
ruangan senior. Ayo cepet!”
“Tapi Gy ....”
“Udah jangan kebanyakan ngomong disini, kamu
jelasin aja nanti sama anak-anak!.”
“Gawat! Kak Fariz pasti disidang L ini pasti gara-gara aku. Duh maaf Kak.”, kataku
dalam hati.
Kak Pegy mendekatiku dan,”Mirza, tadi Fariz
ngasih tau apa?”
“em... a... a.... anu Kak.”
“Apaan?”
“emh, gak kok Kak, Kak Fariz gak ngomong apa-apa
ke Mirza. Beneran deh.”
“Berani Sumpah?”
“Duh apaan lagi nih Kak Pegy pake ngajakin
sumpah segala, mati deh!”, darahku membeku, mulutku kaku, dan bingung mesti
jawab apa ke Kak Pegy.
“Ayo, berani gak?”
“Pegy .... Sini!”, panggil Kak Indra.
“Huft, alhamdulillah. Keajaiban, hehe.”
***
Latihan berikutnya, kamu gak pernah jadi tutor
aku lagi. Para senior seakan berniat memisahkan aku sama kamu. Mereka takut,
sesuatu tumbuh antara kita. Sejujurnya aku cukup sedih dengan keadaan ini.
Mereka selalu berusaha membuat kita semakin jauh dengan membuat berbagai gosip
tentang kamu sama junior lain.
Perlahan, aku merasakan suatu perbedaan dalam
dirimu. Kamu seakan memperlakukanku seperti layang-layang, ditarik dan diulur
lagi. Terkadang aku merasa kita dekat dimanapun kita berada. Apapun tentangmu,
pasti aku lebih dulu tau. Kita seakan tak pernah lepas saling memberi kabar,
komentar, atau apapun itu. Saat emosi, aku selalu jadi orang pertama yang kena
imbas kemarahanmu. Begitu pula saat kebahagiaan menghampirimu, akulah orang
pertama yang merasa senang mendengarnya.
Terkadang, aku ngerasa kita jauh, sangat jauh.
Bahkan dibilang kawan pun tidak pantas. Satu hal yang sampai saat ini masih
menjadi sebuah misteri dalam hidupku. Kepergianmu seakan menjadi rahasia yang
menjadi dinding pembatas antara kita. Aku gak pernah tau rencana kamu pergi
dari sekolah ini. Aku gak pernah tau, entah karena alasan apa kamu rela
meninggalkan kelompok seni yang susah payah kamu bangun dua tahun terakhir ini.
Saat perpisahan digelar, kamu sama sekali tak
menghiraukan keberadaanku. Berjabat tanganpun seakan terlalu mahal dari sebuah
intan berlian. Aneh, kita yang dulu sama-sama, sekarang berpisah tanpa satu
alasan pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar